Mengapa modal yang selalu menjadi alasan untuk tidak memulainya buka usaha? Apakah dengan modal besar orang akan langsung sukses usahanya? Apakah kalau tidak ada modal lantas kita tidak bisa mulai usaha? Diam saja menunggu modal jatuh dari langit? Tidak, tidak, tidak. Kalau jiwa sudah mulai brontak, darah mendidih, ingin menghancurkan keadaan yang serba susah, keinginan sudah tak terbendung untuk mulai membuka usaha, sudahlah mulai saja buka usaha dengan modal yang ada.
Biasanya jalan keluar akan ada setelah kita mulai membuka usaha. Ada seorang keluarga sederhana dengan keinginan yang sudah sangat kuat untuk membuka warung kelontong di rumahnya namun modalnya hanya paspasan saja.
Karena keinginan sudah tak dapat dibendung maka keluarga itu membuka saja warungnya dengan modal yang dia punya dulu. Waktu berjalan, terus, hari berganti hari, minggu berganti minggu, ternyata tak disangka-sangka banyak salesman yang menawarkan barang dagangannya dengan sistem konsinyasi atau pembayaran kredit. Dengan berjalannya waktu barang dagangannya pun mulai penuh, lengkap, usahapun lancar.
Jangan manja dengan ketiadaan modal, karena modal bukan satu-satunya faktor yang menentukan dalam memulai buka usaha. Jangan jadi alasan, yang sebenarnya adalah sebagai pengecut karena tidak berarti membuka usaha.
Beranilah mulai, kenapa jadi pengecut yang hanya bisa bergantung kepada orang lain. Jangan meremehkan modal yang minim dalam mulai membuka usaha karena yang sekarang menjadi pengusaha besarpun pada awalnya hanya menggunakan modal yang pas-pasan.
Kalau orang lain saja bisa, kenapa kita tidak? Apa bedanya, sama-sama makan nasi, mengeluarkan kotoran yang sama, hidup di bumi yang sama, punya otak yang sama, pendidikannya pun sama bahkan kadang lebih tinggi kita. Tidak sedikit orang yang gagal dalam pendidikannya tapi malahan sukses dalam bisnisnya.
Banyak orang beranggapan bahwa suatu usaha hanya bisa dimulai jika si pengusaha telah mempunyai sejumlah uang sebagai modal usaha. Anggapan ini tidak salah tapi tentu saja bukan merupakan kebenaran mutlak.
Artinya, jangan kemudian mengurungkan diri untuk memulai usaha hanya karena modal yang belum mencukupi, sehingga secara tidak langsung anda mematikan potensi jiwa wirausaha yang anda miliki.
Sungguh sangat disayangkan bila sudah punya jiwa wirausaha sebagai calon-calon pengusaha sukses, lalu kemudian mengurungkan diri untuk tidak mulai usaha karena alasan minimnya modal.
Seorang wirausaha sejati bukan modal semata yang menjadi tonggak berdirinya sebuah usaha. Seorang calon wirausahawan tidak akan menyerah karena ketiadaan modal.
Sebaliknya seorang wirausahawan sejati akan mengerahkan seluruh kemampuannya, potensi yang dimilikinya dan akan menunjukkan kepada dunia, akulah pengusaha sukses. Pergunakanlah hubungan baik, jaringan relasi dan reputasi anda untuk bisa mendapatkan pinjaman lunak dari kolega atau relasi atau kerjasama dengan kawan, bagi hasil dan sebagainya.
Bisa juga dimulai dengan menjual jasa keahlian atau informasi yang notabene tidak perlu terlalu banyak membutuhkan modal namun justru bisa mendatangkan uang yang bisa dikumpulkan sebagai modal usaha.
Seseorang yang berniat untuk membuka suatu usaha sendiri biasanya sudah menyiapkan hitung-hitungan modal yang diperlukan untuk usaha itu. Mulai saja dengan modal yang ada, jangan mengada-ada.
Haji Ate Tohi, seorang konglomerat industri penyamakan kulit yang berasal dari desa Suka gerang, Kabupateng Garut, Propinsi Jawa Barat, enggan memanfaatkan tawaran kredit usaha dari sebuah Bank sebesar Rp 200juta. Namun usahanya berkembang dengan modal yang dimilikinya pada awal mula merintis bisnisnya tidak lebih dari Rp 600.000,-. Itupun dari hasil meminta kerelaan istrinya untuk menjual perhiasan berupa kalung, anting dan gelang emasnya.
Haji Ate adalah lulusan Akademi Perhotelan Bandung. Ia mendapatkan tawaran kerja di Hotel Tiara, Medan. Ate tidak mau berpisah dengan istrinya karena ia sudah menikah dengan Hajah Olis Yelly tahun 1987. sehingga ia memilih untuk tinggal bersama istrinya dengan membuka usaha sendiri. Mertuanya pun punya usaha penyamakan kulit yang cukup kaya. Tapi Ate hampir putus asa karena tidak punya modal untuk mulai usaha. Ia enggan meminjam dari mertua, sementara untuk mendapatkan pinjaman dari Bank ia tak memiliki sesuatu yang bisa dijadikan agunan. Sehingga ia meminta kerelaan istrinya untuk menjual perhiasan yang dimilikinya.
Salah satu kunci suksesnya adalah selalu mengendalikan pengeluaran paling banyak 50% dari keuntungan yang didapatnya. Prinsip ini dipelajari dari pengusaha etnis Tionghoa. Haji Ate lebih suka menggunakan angkutan umum atau menyewa mobil di terminal walaupun ia mampu membeli dua atau tiga mobil setiap tahunnya. Penampilannya pun bersahaja, tidak mewah, lebih sering terlihat mengenakan kaus dan sandal jepit ketika mengawasi karyawan yang bekerja padanya. Padahal omset usahanya telah mencapai angka Rp 5 milyar perbulan pada saat itu. Dalam islam ini yang dinamai dengan zuhud.
Usaha penyamakan kulit Haji Ate justru malah naik daun saat krismon. Ketika nilai dollar gonjang-ganjing tak stabil, ia menembus pasar ekspor dan mendapatkan pe-langgan dari Nigeria dan Taiwan yang sangat tertarik dengan produksinya, juga sangat bernafsu untuk memborongnya. Sehingga semakin besarlah omsetnya karena harga dollar saat itu sangat tinggi. Pasar ekspor yang diperolehnya berawal dari sebuah pameran kulit di Jakarta, awal tahun 90-an, sehingga banyak orang asing mencarinya.
Walaupun kini ia orang yang kaya namun ia tetap bersahaja, hemat dan selalu rajin menabung dari hasil keuntungan usaha, sehingga bisnisnya berkembang hingga seperti sekarang ini. Di Garut tak ada orang yang tak mengenal-nya. Ia merintis bisnisnya dari bawah sehingga ia sangat paham kendala-kendala dan kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh usaha kecil sejnis, sehingga ia menyediakan bahan baku dan membeli hasil penyamakan kulit UKM di sekitarnya. Ternyata dengan tekat yang kuat untuk berbisnis Haji Ate mampu memulai dengan modal yang sangat minim, sehingga ia berhasil menjadi kaya raya saat ini.
Kalau Haji Ate bermodalkan Rp. 600.000,- Haji Ikrom pun mampu membangun usahanya dengan modal Rp 500.000,- yang mampu meraup omset Rp 4 juta per hari abas Rp 120 juta sebulan. Tidak ada seorang pegawai yang gajinya menembus angka seperti itu dalam satu bulan. Bisnis apa yang di jalani oleh Haji Ikrom? Ternyata bisnisnya hanya bisnis keripik tempe. Walaupun keripik tempe tapi lihatlah omsetnya bahkan dia mampu memasarkan keripiknya hingga ke Amerika Serikat.
"Kalau anda ke Malang, jangan lupa beli keripik tempe," pesan singkatnya dari mulut ke mulut itulah yang membuat Haji Ikrom tak menyangka kalau keripik tempe Abadi-nya bisa melanglang buana hingga ke AS. Ia pun semakin PD (percaya diri) untuk terus mengembangkan bisnis yang telah dirintis bersama istrinya sejak tahun 1970. Cerita soal keripik tempe sampai ke Negeri Abang Sam itu berawal dari surat PT Fajar Jaya di Jakarta yang ditujukan kepada Ikrom pada tahun 1997 lalu.
Komentar